Tugas
Geografi Sejarah
GEOGRAFI
KERAJAAN sriwijaya
OLEH
:
AMAN
MAKRUF
A1
A2 11 083
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
KENDARI
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Geografi
tanpa sejarah bagaikan jerangkong tanpa gerak, sejarah tanpa geografi bagai
kelana tanpa tempat tinggal
(East dalam Daldjoeni: 7).
Seperti
itulah ungkapan East untuk menggambarkan betapa lingkungan geografis mempunyai
peran penting dalam perjalanan sejarah, bukan sekedar “panggung”, setting
yang sering kali diabaikan peranannya oleh kebanyakan ahli sejarah dan
sejarawan (sebelum tahun 1960an). Namun pada masa setelahnya banyak peneliti
yang membuktikan bahwa kondisi lingkungan sangat mempengaruhi berkembang dan
runtuhnya suatu peradaban. Sebagai contohnya peradaban Hindu-Budha khususnya
kerajaan Sriwijaya yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Sebenarnya
kata Sriwijaya bukanlah kata asing bagi kita sebagai bangsa Indonesia. Karena
kita pernah memilikinya sebagai sebuah negeri maritim terbesar dizamannya.
Dengan armada laut yang kuat Sriwijaya menaklukkan berbagai wilayah stategis
seperti Melayu sampai sebagian besar pulau Jawa. Kestrategisan emporium inilah
yang menjadikannya negeri yang masyhur di dalam negeri maupun luar negeri.
Sehingga tidaklah mengherankan jika banyak temuan benda purbakala di China,
India, Malaysia dan sekitarnya yang diidentifikasi berasal dari kerajaan ini.
Disisi
lain, setiap peradaban adalah siklus kata Toynbee. Peradaban tidak
sekonyong-konyong ada, tapi terbentuk kemudian berkembang lalu mengalami
kemunduran yang bersifat determinan. Oleh karenanya generasi berikutnya
terinspirasi untuk mencapai keagungan peradaban masa lalu. begitupun juga
dengan Sriwijaya. Negeri ini tumbuh, berkembang dan runtuh dengan berbagai
sebab. Salah satu sebab yang akan menjadi topik pembahasan dalam tulisan ini
adalah sebab geografis. Yaitu situasi alam atau lingkungan mempengaruhi tumbuh,
berkembang dan runtuhnya kerajaan Sriwijaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kondisi Geografis Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan
Sriwijaya yang pernah menjadi salah satu kerajaan yang berjaya di Nusantara menjadi
misteri tersendiri bagi kalangan ahli sejarah. Pasalnya, tidak ada tinggalan
bangunan istana kerajaan seperti kerajaan Majapahit. Kalaupun ada hanyalah
sedikit, dan juga terkesan tercecer diberbagai tempat. begitupun juga bukti
prasasti dan kronik Cina maupun Arab tidak menyimpulkan hal yang sama. Hal ini
melahirkan banyak hipotesis.
Di
bawah ini ada beberapa hipotesis para ahli yang mencoba melokalisasikan
kerajaan Sriwijaya seperti yang tertera dalam tabel berikut.
Tabel Daftar Tokoh, Tahun, Lokasi
dan Tokoh Pendukung Hipotesis
No
|
Nama
|
Tahun
|
Lokasi
|
Keterangan/Pendukung
|
1.
|
G. Coedes
|
1918
|
Palembang
|
|
2.
|
FDK Bosch
|
1930
|
Jawa
|
|
3.
|
R.C. Majumdar
|
1933
|
Ligor (Thailand)
|
|
4.
|
H.G Quaritch Wales
|
1935
|
Chaiya (Thailand)
|
Chand Chiraya Rajani (1974)
|
5.
|
G. Coedes
|
1936
|
Palembang
|
Nilakanta (1949)
|
Poerbatjaraka (1952)
|
Slamet Muljana (1963)
|
Wolters (1967)
|
Bronson (1974)
|
6.
|
JL Moens
|
1937
|
Kedah (Malaysia) à Muara Takus
(Pekanbaru-Riau)
|
|
7.
|
R. Soekmono
|
1958 & 1979
|
Jambi
|
Geomorfologi
|
8.
|
Boechari
|
1979
|
Batang Kuantan (Palembang) à Mukha
Upang (Palembang)
|
|
Dari tabel
di atas terlihat jelas bahwa ada salah satu hipotesis yang banyak dianut
kebanyakan ahli sejarah,yakni hipotesis dari Coedes dan kawan-kawan yang
menyatakan bahwa Palembang (Sumatera) merupakan daerah yang tepat bagi pusat
kerajaan Sriwijaya berdasarkan prasasti dan berita I-Tsing. Mulyana (2010 dalam
blog) menegaskan bahwa pelokasian Sriwijaya di Palembang memiliki bukti-bukti
tak terbantah. Uraian I-tsing bahwa Sriwijaya di tenggara Malayu dan di muara
sungai besar. Penelitian geomorfologi bahwa Palembang abad ke-7 berlokasi di
pantai. Sebagian besar prasasti Sriwijaya ditemukan di Palembang. Dan yang
terpenting, prasasti Telaga Batu di Palembang merinci nama jabatan yang hanya
mungkin ada di pusat pemerintahan: putra mahkota, selir raja, senapati, hakim,
para menteri, sampai pembersih dan pelayan istana. Namun dengan adanya
hipotesis lain yang didukung bukti-bukti, maka kemungkinan ibukota Sriwijaya berpindah-pindah.
Lalu bagaimanakah kondisi geografis kerajaan Sriwijaya yang terletak di pulau
Sumatera tersebut? Untuk lebih jelasnya mari kita cermati peta Asia Tenggara
purba di bawah ini.
P.1 Peta Asia Tenggara : pembagian secara politis (pertengahan abad ke-8)
(Sumber: google)
Peta di atas menggambarkan wilayah
kekuasaan kerajaan-kerajaan pada abad ke-8an. Disana ada China, Chenla, Champa,
Sriwijaya, dan tanah bebas. Pada awalnya jangkauan kekuasaan Sriwijaya hanya
meliputi Minangkabau dan tanah Batak. Kemudian terjadi perluasan ke luar
Sumatera dengan menundukkan Kamboja dan Siam. Bagian besar dari Jawa dan
pantai-pantai Kalimantan seperti Banjarmasin juga dikuasai bahkan sampai bagian
tertentu dari Filipina.
Mengenai
kegiatan masayarakat Sriwijaya Robbequain (dalam Daldjoeni, 1982 : 36-37)
menggambarkannya sebagai berikut.
“Latar belakang
alam dari kebesaran Sriwijaya ternyata tidak banyak ditemukan pada sumbernya
yang berupa hutan-hutan dan tanahnya, akan tetapi lebih pada kegiatan
orang-orangnya di lautan. Negara tersebut maju dalam perniagaan laut; juga
banyak diperoleh keuntungan dari hasil perompakan atas kapal-kapal pengangkut
hasil antar samudra. Dari pantai-pantai Sumatra diawasinya Selat Malaka serta
Selat Sunda, dua jalan laut
penghubung Samudra Hindia dengan lautan Cina Selatan dan Lautan Nusantara.”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kebesaran Sriwijaya terletak pada
kegiatan ekonominya dalam bentuk pelayaran-perdagangan. Serdadunya tidak hanya
tentara biasa namun juga armada bajak laut. Akhirnya hegemoni ekonomi laut
dapat dipertahankan.
Peristiwa goegrafi penting berikutnya adalah terbentuknya dataran rendah yang
terjadi pada seluruh pantai Timur Sumatera mulai dari Sukadana di Lampung
sampai Sungai Asahan di utara. Ini berarti Palembang juga termasuk daerah yang
mengalami peristiwa tersebut.
Di zaman
tersier kuno, pegunungan Bukit Barisan mengalami proses pelapukan yang hasilnya
berupa batuan sabak kuno, batuan granit dan diorite termasuk juga batuan
efusif, serta batuan metamorfosa. Karena hasil pelapukan tersebut sangat basa
maka bersamaan dengan proses tersebut terbentuklah pasir kuarsa. Selain itu
juga terbentuk lempung dengan kadar S02 yang tinggi yang kemudian diendapkan di
laut dan sebagian di darat berupa tanah lempung.
Pada jaman
tersier muda (miosen) bagian besar pulau Sumatera tenggelam dalam lautan. Adapun
bagian-bagian di atas permukaan laut juga mengalami erosi hebat dan
sungai-sungai membuang bahan-bahan berkisel ke dalam lautan. Kemudian dizaman
berikutnya yakni pliosen mulailah terjadi proses pengangkatan berbagai bagian
pulau Sumatera dengan diselingi masa-masa istirahat pendek. Dalam jaman yang
penuh dengan kegiatan vulkanisme maka terbentuklah pegunungan Bukit Barisan,
khususnya bagian tengah dari deretannya. Dengan kejadian itu semuanya maka
diberbagai tempat batu-batuan tua menjadi tertutup oleh yang muda. Tetapi
bersamaan dengan itu banyak sungai yang mengerosikan bahan eflata dari
gunung-gunung api. Karena batuannya kebanyakan bersifat asam seperti rhiolit,
andesit asam, dasit dan liparit, maka hancurannya yang diendapkan selain
terdiri dari atas glimmer dan hornblende juga khususnya batu apung, veldspat,
alkali dan kwarsa.
Endapan-endapan
tersebut pada awalnya hanya terjadi pada lautan yang mendangkal, tetapi
kemudian juga menjalar sampai keseluruh lautan yang terletak diantara Sumatera,
Malaka dan Kalimantan, dengan demikian lautan Sunda (seperti halnya Jawa)
pernah menjadi daratan. Dengan selesainya masa tersebut, kini berlanjut ke masa
kwarter yang pada masa ini terbentuk dataran rendah Palembang yang sekarang
sering disebut sebagai suatu “talang”. Semakin dataran tersebut terangkat,
semakin dalam sungai-sungai mengiris permukaan buminya sehingga dengan cara
demikian kemungkinan untuk banjir berkurang. Proses yang terjadi dari jaman ke
jaman adalah proses pencucian tanah (soil leaching) oleh curah hujan. Ini
berlangsung hingga masa kini dan kesuburan yang terkandung tanah makin habis.
Bersamaan dengan itu vegetasipun menjadi berkurang terus-menerus. Namun di kiri
kanan sungai Musi misalnya terdapat jalur pinggiran yang disebut “renah” di
situ terjadi peremajaan tanah karena air banjir meluapkan pula bahan-bahan
kesuburan yang berasal dari gunung-gunung api di pedalaman Sumatera.
Perlu pula
ditambahkan bahwa berdasarkan berbagai penyelidikan dimasa terjadi pasang
setinggi kurang lebih 40 meteran pada jaman kwarter, dataran-dataran
rendah yang menghubungkan daerah pegunungan di Sumatera, Malaka, Bangka
Belitung, Kalimantan dan Jawa menjadi tenggelam lagi, sehingga terbentuklah
lautan-lautan baru seperti Laut China Selatan, Selat Sunda, Selat Malaka dan
Laut Jawa. Sejak jaman itulah di sekitar Palembang dan Jambi karena air
sungai-sungainya yang besar menjadi terhambat untuk bermuara, dan terbentuklah
rawa-rawa berair tawar. Latar belakang pedologis seperti di atas perlu
diketahui untuk memahami pengaruh alam yang tidak langsung terhadap proses
muncul dan tenggelamnya kerajaan Sriwijaya.
Penelaahan
tentang Sriwijaya (Sumatera) tidak berhenti sampai disini. Masih ada lagi usaha
lain yakni meneliti pertumbuhan garis pantai Sumatera secara Geomorfologis oleh
para ahli termasuk Soekmono. Sebenarnya sebelum Soekmono, penelitian ini sudah
dilakukan oleh Obdeyn. Obdeyn berkesimpulan bahwa pada masa Sriwijaya dulu,
dataran alluvial Sumatera pantai timur seperti yang ada sekarang ini belum ada.
Jazirah Malaka waktu itu membujur lebih ke selatan sampai ke Pulau Bangka dan
Belitung sedangkan Kepulauan Riau dan Lingga merupakan sambungannya. Adapun
Selat Sunda belum atau tidak dikenal orang. Satu-satunya jalan laut yang
menghubungkan Samoedera Hindia dengan laut China Selatan adalah Selat malaka
dengan belokannya setelah melewati pulau Bangka.
Pada tahun
1954 melakukan penelitian lanjutan yang bekerja sama dengan Angkatan Udara RI
dan memberikan kesimpulan bahwa situs arkeologis disekitar Palembang semuanya
(seperti bukit Siguntang, Kedukan Bukit, Gadingsuro, Candi Angsoka, Candi
Welang dan telagabaru) ada di endapan neogen dan tersier lainnya: artinya tidak
ada yang terdapat di tanah aluvial.
Kota Jambi
yang sekarang, dimasa dulunya terletak disuatu teluk pada muara sungai
Batanghari. Teluk tersebut jorokannya masuk jauh hampir sampai pulau Tambesi.
Adapun di depan teluk tersebut terdapat tiga buah pulau. Setelah pantai
Jambi tersebut direkonstruksi, menjadi nyatalah bahwa lokasi penemuan
arkeologis (seperti Soloksipin di dekat Jambi, Candi Tinggi, Gumpung dan Astano
dekat muara Jambi), semuanya itu ada di formasi tanah dari batuan neogen yang
pernah mengalami pengangkatan.
Jika dibandingkan lokasi Jambi
dengan Palembang nampaknya bahwa Jambi menempati suatu teluk sedang Palembang
menempati ujung jazirah yang pangkalnya ada disekitar Sekayu sekarang. Baik
Jambi maupun Palembang sekarang jaraknya dari lautan rata-rata ada sekitar 75
km, karena endapan sungai Musi dan Batanghari telah membentuk dataran pantai
yang baru.
Menurut geology Van Blemmen, garis
pantai di muara Batanghari majunya setahun rata-rata 75 m sedangkan Sungai Musi
125 m. Perbedaan tersebut karena sungai Musi lebih besar sebagai akibat dari
masuknya air Ogan dan Komering. Kesimpulannya adalah bahwa pada awalnya,
kerajaan Sriwijaya terletak di pantai, dalam arti bahwa lokasi Jambi di tepi
teluk dan Palembang di ujung jazirah.
Sriwijaya muncul dalam sejarah pada
bagian kedua abad ke-7 dan runtuh pada akhir abad ke-14. Selama tujuh abad itu
pantainya maju ke timur terus-menerus. Bahwa menurut berita Arab dan Cina
lokasi Sriwijaya itu di tepi sungai besar, hal itu tentunya berlaku untuk abad
ke-10 atau ke-11. Mengenai pendapat Obdeyn bahwa jazirah Malaka memanjang
kearah selatan sampai Bangka dan Belitung dan kondisi ini bertahan terus sampai
tahun 1400, van Bemmelen dalam buku geologinya menunjukkan bahwa Bangka
Belitung beserta kepualuan Singkep mewujudkan suatu deretan pegunungan yang
secara berangsur mengalami penenggelaman (Daldjoeni, 1982: 42-44.)
B.
Pengaruh kondisi geografis terhadap
pertumbuhan kerajaan Sriwijaya
1. Sungai Musi
Pada
pembahasan ini terdiri dari dua poin inti pembahasan yakni yang pertama
mengenai peran sungai Musi terhadap perkembangan kemajuan kerajaan Sriwijaya
dan upaya penjangkauan wilayah strategis-ekonomis dengan cara penaklukan.
Penggambaran sungai Musi melalui peta yang relevan tidak ditemukan sehingga
pembahasannya menggunakan peta baru yang masih ada sangkut pautnya dengan
kegiatan masyarakat dalam membangun pos-pos dagang sepanjang sungai Musi
Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama ; daerah ibukota
muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai
daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi pusat
kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang
berharga untuk pedagang Tiongkok.
Dibagian
hulu sungai Musi, Sriwijaya memiliki akses memasuki daerah pedalaman yang
menyediakan suplai komoditas lokal yang berlimpah semacam kayu, resin aromatic
dan rempah-rempah. Satu-satunya perkecualian dari daftar komoditas itu adalah
emas karena, bertentangan dengan Malayu di Batang hari, sungai Musi tidak punya
hubungan dengan pusat produksi emas di dataran tinggi Minangkabau. Palembang
memiliki akses yang mudah ke laut disebabkan oleh letak geografis situsnya.
Wilayah itu sangat rendah dan rata yang memungkinkan kapal-kapal laut bisa
menyusuri sungai sampai ibukota tanpa memerlukan bongkar-muat kapal (Munoz,
2009: 159).
Fungsi
sungai Musi yang penting tersebut menuntut perbaikan fasilitas. Kemudian
dibangunlah pos-pos dagang (gambar p.4). Pos-pos tersebut digunakan untuk
menmpung sementara barang dan orang dalam perjalanannya hilir-mudik
pedalaman-pusat.
Karena
daerah pedalamannya penghasil komoditas penting membuat Sriwijaya menjadi
pengendali (pemenang dalam) perdagangan yang masuk dari Jawa maupun yang akan
berangkat ke India. Namun, posisi seperti ini masih belum memuaskan Sriwijaya.
Akhirnya muncullah ide untuk mengendalikan semua pelabuhan yang berlokasi
dikedua sisi selat Malaka dan Sunda. Kendali atas semua pelabuhan ini adalah
satu-satunya cara untuk mendapatkan sebuah hegemoni maritim atas emporium
kompetitor lainnya. Siapapun yang memegang kendali ini bisa mengumpulkan pajak
dan upeti dari semua barang yang transit dan menjadi pemain utama dalam
perdagangan upeti dengan China.
Pada masa
selanjutnya, untuk tetap mempertahankan stabilitas didalam mandala mereka, para
raja Sriwijaya berkewajiban untuk bisa berperan sebagai seorang politisi yang
cakap. Jarak antara mandala-mandala jauh ini memaksa Raja untuk lebih bersandar
pada kesetiaan dibanding dengan paksaan. Kesetiaan ini bersifat temporal
sehingga mereka harus ditaklukkan secara militer. Sehingga Krom (dalam Hall:
54-55) mengatakan bahwa untuk mempertahankan posisi hak istimewa, Sriwijaya
melibatkan pendidikan angkatan perang secara terus-menerus seperti yang
dilakukan Belanda abad ke-17.
2.
Struktur
birokrasi
Struktur
birokrasi Sriwijiya ini unik, berbeda dengan kerajaan lain seperti
Mataram-agraris. Kalau struktur birokrasi Mataram sudah jelas mengutamakan tata
pemerintahan dalam negeri. Sumadyo (2010) menjelaskan bahwa sejumlah prasasti
menunjukkan birokrasi yang memperhatikan sekali pelaksanaan berbagai
aturan untuk menjamin ketenangan dalam negeri. Hal seperti ini belum ditemukan
di daerah Sriwijaya. Adapun prasasti yang telah ditemukan umumnya berasal dari
abad ke-7 atau ke-8, yaitu masa awal tumbuhnya Sriwijaya sebagai suatu
kekuatan. Dari prasasti tersebut menimbulkan kesan bahwa masa itu adalah masa
penaklukan. Tentara Sriwijaya bergerak diseluruh negeri dalam suatu usaha
pasifikasi.
Hal yang
menarik lagi bahwa sebagian dari prasasti itu mengandung ancaman kutukan yang
ditujukan pada keluarga raja sendiri. Hal ini terjadi karena keluarga raja
tersebut berada diluar pengawasan langsung atau mbalelo. Mereka adalah
anak-anak raja yang diberi kuasa didaerah-daerah. Berdasarkan prasasti
kota kapur (Sumadyo, 1993: 71), telaga batu dan tugu-tugu peringatan yang
ditemukan di Jambi, Kota Baru dan Lampung menyiratkan bahwa Jaya Nasa bukanlah
raja yang lunak dan tidak ragu-ragu menggunkaan tindakan-tindakan keras untuk
menakuti para penantangnya. Salah satu contohnya adalah menggunakan mantra dan
kutukan magis ajaran tantra yang tertera dalam prasasti Telaga batu yang
bertuliskan: “Jika kalian tidak setia padaku, kalian akan terbunuh dengan
kutukan ini” (Munoz, 2009:172).
Keadaan
tersebut jika benar, menunjukan sikap keras dari raja yang berkuasa. Suatu
sikap yang tidak menghendaki kebebasan bertindak yang terlalu besar kepada
penguasa daerah. Sikap demikian ini sebenarnya tidak mnegherankan untuk suatu
negara yang hidup dari perdagangan. Pasalnya bahwa penguasa harus
menguasai jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan-pelabuhan tempat penimbunan
komoditas dagang. Dengan penguasaan dua aspek tersebut, dengan sendirinya
memerlukan pengawasan langsung dari penguasa. Oleh karena itu, tidaklah heran
kalau raja Sriwijaya tidak membenarkan sikap tidak setia, meskipun hanya
sedikit, termasuk dari anaknya sendiri.
Sebagai
sebuah negara maritim-bisnis, Sriwijaya telah mengembangkan suatu tradisi
diplomasi yang menyebabkan kerajaan tersebut lebih metropolitan sifatnya. Untuk
mempertahankan peranannya sebagai negara bisnis, Sriwijaya lebih memerlukan
kekuatan militer yang dapat melakukan gerakan ekspedisioner daripada negara
agraris. Kelangsungan negara Sriwijaya lebih tergantung pada pola-pola
perdagangan. Hal ini terbukti ketika China mulai ikut berdagang dikawasan
selatan peranan Sriwijaya berkurang sebagai pangkalan utama perdagangan antara
Asia Tenggara dengan China.
3. Hubungan dengan luar negeri
Sumatera
merupakan pulau besar di Indonesia bagian barat yang terdekat letaknya dengan
daratan AsiaTenggara. Diantara Sumatera dan Semenanjung Melayu, suatu jazirah
yang merupakan bagian dari daratan Asia Tenggara, hanya terdapat sebuah selat
yang tidak begitu lebar yaitu selat Malaka. Kedudukan geografis ini merupakan
suatu faktor yang besar pengaruhnya pada sejarah yang dialami oleh pulau ini.
Posisi
strategis Sriwijya akan membuatnya menjadi Negara maritim terbesar di
Nusantara. Hubungan antara Sriwijaya dengan negri diluar Indonesia bukan hanya
dengan China,namun juga dengan India. Sebuah prasasti raja yang bernama
prasasti dewa pala dewa dari Bengala yang dibuat pada akhir abad
ke-9 menyebutkan sebuah biara yang dibuat atas perintah Balaputradewa, maharaja
dari Suwarna dwipa. Prasasti ini dikenal dengan nama prasasti Nalanda.
Prasasti lain yaitu prasasti dari raja-raja 1 di India Selatan
menyebutkan marawijayottunggawarman raja dari Kataha dan Sriwisaya telah
memberikan hadiah sebuah desa untuk diabdikan kepada sang Budha yang dihormati
didalam cuda manifarma vihara, yang telah didirikan oleh ayahnya
dikota Nagipattana (Negapatam sekarang).
Hubungan
luar negeri Negara Sriwijaya lebih aktif sifatnya. Sriwijaya ini menaruh minat
pada pembangunan agama baik di India maupun China. Sebagai seornag penganut
Buddha, sang Maharaja tidak –seperti halnya penguasa Hindu- tergantung pada
sebuah Devaraja, yang selalu terikat pada sebuah candi yang jika hilang atau
hancur akan mengibatkan kehancuran pula bagi kerajaan. Abad XI, maharaja
Sriwijaya memperbaiki sebuah kuil di Kanton. Karya-karya I-Tsing juga
menggambarkan betapa masyhurnya Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha. Pertumbuhna
pusat itu hanya mungkin jika negeri itu terbuka untuk hubungan dengan luar
negeri yang berkembang dalam waktu yang tidak singkat.
4. Sosial-Budaya dan Agama
Sebagai
jalur lalulintas utama Asia Tenggara, tentunya segala budaya dan agama dari manca
negara bisa masuk dan berkembang. Agama yang berhasil tumbuh sebagai agama
Negara adalah agama Budha. Hampir semua pendeta China yang melakukan perjalanan
laut antara China dan India akan singgah di kota Palembang untuk belajar
disejumlah biara (Munoz, 2009: 165) salah satunya adalah I-Tsing. Bukti telah
berkembangnya agam Budha adalah dibangunnya candi Muara Takus (lihat gambar
p.6). Selain Budha ada juga aliran Mahayana, Hinayana, Tantrayana dan
Mantrayana.
Gambar p.6 Candi Muara Takus
Sumber; www.google.com
5. Perkembangan perdagangan
Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang
ditemukan, tetapi beberapa menyatakan bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah
melakukan kolonisasi atas seluruh Sumatra, Jawa Barat, dan beberapa daerah di
semenanjung Melayu.
Dalam hal ini Sartono (1999: 2) menambahkan Selat Malaka dan Selat Sunda. Dominasi atas
Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute
perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap
kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan
gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.
Letak
geografis Sumatera sangat mendukung Sriwijaya untuk ikut serta dalam
perdagangan internasional yang mulai berkembang antara India dengan daratan
Asia Tenggara sejak awal tarikh Masehi (lihat peta p.5). Berita China
mengatakan bahwa ada kesamaan adat di Kan-t’oli dengan di Kamboja dan Campa
membuktikan bahwa keadaan diketiga tempat tersebut sama, setidaknya menurut orang-orang
China tersebut. Hal ini hanya dapat terjadi jika ada hubungan intensif antara
negeri tersebut. Dan ketika hubunagn ini terjalin, akan memberikan pengaruh
terhadap Sumatera.
Perdagangan
dengan China dan India telah memberikan keuntungan besar bagi Sriwijya. Negeri
ini berhasil mengumpulkan kekayaan yang banyak hingga membuatnya termasyhur di
seantero negeri. Keadaan seperti ini tentunya mengundang kemungkinan adanag
gangguan terhadap stabilitas Negara oleh ulah para bajak laut. Namun, sampai
abad X, Sriwijaya dapat mengatasi hal tersebut.
C.
Runtuhnya Kerajaan
Sriwijaya
Tentunya
jika membicarakan runtuhnya kerajaan Sriwijaya akan ditemukan berbagai sebab.
Menurut Suryanegara dkk. (2010 dalam blog) ada dua sebab yakni serangan dari
Jawa dan dari Cola.Namun sebab manakah yang menjdai faktor utama runtuhnya
kerajaan tersebut?
a. Serangan dari Jawa
Dunia
perdagangan dan pelayaran internasional kerajaan Sriwijaya yang maju pesat
dikarenakan kerajaan ini menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis yang terletak
di sepanjang Selat Malaka disertai kekuatan armada laut yang kuat. Sriwijaya
menjalankan politik bersahabat dengan negara-negara tetangganya, walaupun
seringkali pula terjadi perperangan yang tidak terelakkan. Misalnya hubungan
persahabatan antara Sriwijaya dengan penguasa Jawa telah terjalin sejak zaman
raja Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Tetapi ada kalanya terjadi
pertentangan di antara kedua negara tersebut.
Peristiwa
pertikaian tersebut diberitakan oleh utusan dari Jawa yang sedang berada di
negeri Cina yang mengatakan bahwa negerinya sedang berperang dengan kerajaan
Sriwijaya, sedangkan pada saat yang sama (988 M), utusan dari Sriwijaya yang
tengah berada di Kanton (Cina) tetap bertahan di kota ini, karena mendengar
berita bahwa penguasa Jawa (raja Dharmawangsa) dengan Sriwijaya tengah
berperang. Penyebab peperangan tersebut karena memperebutkan kawasan
lalu-lintas perdagangan di sekitar Selat Malaka yang memang strategis.
Pada waktu
wilayah kekuasan Sriwijaya mendapat serangan dari penguasa Jawa, Sriwijaya
pernah meminta bantuan pasukan dari kerajaan Chola (Colomandala) di India.
Sriwijaya dapat memulihkan kewibawaannya setelah mendapat serangan dari Jawa
tersebut serta dapat mengembalikan wilayah kekuasaannya di kawasan Semenanjung
Melayu.
b. Serangan Kerajaan Chola
Pada saat
pertikaian antara Sriwijaya dengan Jawa, hubungan antara Sriwijaya dengan
kerajaan Chola masih baik. Buktinya, sekitar tahun 1005 M, raja Sriwijaya
membangun candi Budha di Nagipattana atau Nagapatam di wilayah kekuasaan
kerajaan Chola. Hubungan baik yang dibina raja Sriwijaya, Sri
Chulamaniwarmadewa, dengan penguasa Chola tidak berlangsung lama. Karena
politik Chola terhadap perluasan kekuatan di lautan seperti yang dilakukan
kerajaan - kerajaan kuno sebelumnya yang mengulangi cara-cara yang dipakai
untuk mempertahankan monopoli perdagangan mereka.
Tahun 1007
M, kerajaan Chola mulai menyerang ke arah timur. Raja Chola mengklaim bahwa
mereka telah menaklukan 12.000 pulau. Ketika raja Chola mangkat pada tahun
1014, sang putra kerajaan Rajendra untuk beberapa tahun tetap bersahabat dengan
Sriwijaya dan bahkan memperkuat hadiah yang diberikan ayahnya pada Vihara
Negapatam yang dibangun oleh Sriwijaya.
Dalam
serangan Chola tahun 1024, lebih ditujukan kepada daerah Semenanjung Malaka.
Tetapi serangan Chola itu tidak sampai menghancurkan sama sekali kejayaan
Sriwijaya, karena pasukan Sriwijaya mempunyai daerah pertahanan yang terdiri
dari banyaknya anak-anak sungai, kawasan berawa-rawa, dan pulau-pulau di
wilayahnya.
Tahun 1025
M, pasukan Chola kembali mengadakan serangan besar yang melemahkan kedudukan
Sriwijaya. Sebagian besar tempat-tempat ini terletak di Sumatra atau
Semenanjung Melayu, tetapi beberapa nama-nama itu belum dapat
diidentifikasikan. Tempat yang dapat diidentifikasi dengan pasti adalah
Palembang, Melayu (Jambi), dan Pane (pantai timur Sumatra), Langkasuka (Ligor),
Takola dan Kedah di daratan Melayu; Tumasik, (sekarang Singapura), Aceh di
ujung utara Sumatra, dan kepulauan Nikobar. Namun, serangan dahsyat tersebut,
tetap tidak meruntuhkan Sriwijaya, hanya memperkecil daerah kekuasaannya.
Setelah
serangan Chola, Sriwijaya kembali dapat membangun menjadi negeri yang besar.
Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi berupa sisa-sisa bangunan
suci; sebuah stupa dan beberapa makara. Salah satu dari makara tersebut
berangka tahun 1064 M. Bukti lain berupa kronik Sung-shih tetap mencatat adanya
utusan-utusan dari Sriwijaya ke negeri Cina pada tahun 1028 M, 1067 M, dan 1080
M.
Jadi,
serangan Chola yang dahsyat itu tidak membuat kerajaan Sriwijaya lemah. Namun
akibat serangan Chola itu cukup fatal terhadap kekuasaan kerajaan Sriwijaya;
kekuatan kerajaan maritim ini mulai menurun dan dominasi kerajaan Sriwijaya
atas lalu-lintas perdagangan di selat Malaka lambat laun makin pudar. Sriwijaya
sudah tidak mampu lagi mengawasi negeri-negeri bawahannya. Dalam situasi
demikian, negeri Melayu yang terletak di Jambi, yang sejak abad ke-7 Masehi
menjadi bawahan kerajaan Sriwijaya, menggunakan kesempatan untuk melepaskan
dirinya dari kekuasaan Sriwijaya.
Lemahnya
kedudukan Sriwijaya setelah serangan Chola tersebut, juga memungkinkan penguasa
Airlangga di Jawa Timur (1019 M-1042 M) untuk merebut kembali daerah yang hilang
(1006 M) pada era kekuasaan ayahnya, raja Dharmawangsa. Kebijakan politik
Airlangga adalah kerjasama dengan penguasa Sriwijaya dalam menghadapi ancaman
dan membendung serangan Chola. Penguasa Sriwijaya dan penguasa Airlangga
tersebut sepakat mengadakan perdamaian. Tahun 1030 Airlangga kawin dengan
puteri Sanggrama Vijayottunggawarman dari Sriwijaya.
Dari tahun
1030 M sampai 1064 M tak ada yang diketahui tentang sejarah Sriwijaya. Tahun
1064, sebuah prasasti berbentuk patung makara, ditemukan di Solok, Sumatra
Barat yang berbatasan dengan Jambi, menyebut seorang Dharmavira, tetapi tidak
ada yang diketahui tentangnya. Patung itu mengandung bukti-bukti seni Jawa.
Rupanya setelah itu upaya Sriwijaya menegakkan kembali kekuasaannya atas
Sumatra, tetapi tidak pernah mencapai kekuasaannya yang seperti era sebelumya.
Yang jelas, penguasa Sriwijaya dengan Airlangga mencapai suatu kesepakatan
untuk membiarkan wilayah kekuasaan Airlangga di bagian barat Nusantara dan Jawa
ke timur.
c. Pendangkalan sungai Musi dan menjauhnya
garis pantai
Sebab yang
satu inilah yang menjadi faktor utama runtuhnya Sriwijaya. Penjelasannya
seperti yang dipaparkan Daljoeni berikut ini. Daerah Sumatera ini merupakan
daerah yang curah hujannya melebihi penguapannya. Hal ini mengakibatkan derasnya
hujan membuat air meresap terlalu dalam hingga tidak dapat dijangkau oleh akar
tumbuhan sekaligus melarutkan bahan-bahan kesuburan tanah. Akibatnya
tanahnya tandus, yang kemudian oleh Soebantardjo disebut pemiskinan tanah
secara kimiawi. Selain itu, sebagain air hujan yang tidak ikut meresap ke dalam
tanah tetapi mengalir di atsas permukaan tanah yang kemudian masuk ke
sungai-sungai. Topsoil berisi humus menjadi hanyut sehingga daerah tersebut
tidak subur. Nah, yang kedua ini disebut pencucian tanah secara fisis dan
menurut Soebantardjo pencucian inilah yang terjadi pada wilayah pusat kerajaan
Sriwijaya.
Peristiwa
alam ini seolah menjadi vonis bahwa Sriwijaya tidak bisa berkutik lagi.
Pasalnya Sriwijaya juga bukan Negara agraris yang memiliki pasokan makanan
sendiri. Seperti kita ketahui bahwa untuk memenuhi kebutuhan beras, kerajaan
ini mengimpor dari pedalaman dan Jawa. Dengan demikian posisi Sriwijaya semakin
tidak menentu. Belum lagi Sriwijaya harus menghadapi serangan dari kerajaan
lain.
Ada pula
sebab lain yakni masih berkaitan dengan air: terjadinya pendangkalan sungai Musi dan menjauhnya garis pantai yang berakibat
tertutupnya akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan
perdagangan kerajaan. Komoditas
berharga dan sumber pangan yang semula datang dnegan mudah menjadi terhambat
dan berhenti. Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam
ke Aceh yang di sebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dan India. Di akhir abad
ke-13, kerajaan Pasai di bagian utara Sumatra berpindah agama Islam. Pada tahun
1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan kesultanan Malaka di
semenanjung Malaysia.
Dari sisa Kerajaan Sriwijaya tersebut tinggalah Palembang
sebagai satu kekuatan tersendiri yang dikenal sebagai kerajaan Palembang.
Menurut catatan Cina raja Palembang yang bernama Ma-na-ha Pau-lin-pang mengirim
dutanya menghadap kaisar Cina tahun 1374 dan 1375.Maharaja ini barangkali
adalah raja Palembang terakhir, sebelum Palembang dihancurkan oleh Majapahit
pada tahun 1377.
Berkemungkinan Parameswara dengan para pengikutnya hijrah
ke semenanjung, dimana ia singgah lebih dulu ke pulau Temasik dan mendirikan
kerajaan Singapura. Pulau
ini ditinggalkannya setelah dia berperang melawan orang-orang Siam. Dari
Singapura dia hijrah ke Semenanjung dan mendirikan kerajaan Melaka. Setelah
membina kerajaan ini dengan gaya dan cara Sriwijaya, maka Melaka menjadi
kerajaan terbesar di nusantara setelah kebesaran Sriwijaya.Palembang sendiri
setelah ditinggalkan Parameswara menjadi chaos. Majapahit tidak dapat
menempatkan adipati di Palembang, karena ditolak oleh orang-orang Cina yang
telah menguasai Palembang. Mereka menyebut Palembang sebagai Ku-Kang dan mereka
terdiri dari kelompok-kelompok cina yang terusir dari Cina Selatan, yaitu dari
wilayah Nan-hai, Chang-chou dan Changuan-chou.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pelokasian
Sriwijaya di Palembang memiliki bukti-bukti tak terbantah. Uraian I-tsing bahwa
Sriwijaya di tenggara Malayu dan di muara sungai besar. Penelitian geomorfologi
bahwa Palembang abad ke-7 berlokasi di pantai. Sebagian besar prasasti
Sriwijaya ditemukan di Palembang. Dan yang terpenting, prasasti Telaga Batu di
Palembang merinci nama jabatan yang hanya mungkin ada di pusat pemerintahan:
putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para menteri, sampai pembersih dan
pelayan istana.
Penguasaan
yang kuat atas Asia Tenggara membuat Sriwijaya menjadi negeri maritim-bisnis
yang kokoh. Untuk mempertahankan hegemoni tersebut digunakanlah praktik militer
darat dan laut (bajak laut). Banyak negeri-negeri yang ditaklukan untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Namun Sriwijaya juga menjalin diplomasi
yang baik dengan China.
Hubungan
baik antara China dan India menjadikan Sriwijaya sebagai meltingpot
budaya termasuk agama. Sebagaimana yang diberitakan I-Tsing bahwa di Sriwijaya
telah berkembang ajaran Budha dan berbagai alirannya. Pembangunan candi
dilakukan di Muara takus sekaligus sebagai legitimasi Sriwijaya atas tanah
tersebut.
Wilayah
pelayaran-perdagangan yang dibangun dengan baik memberi keuntungan yang besar
bagi Sriwijaya. Ekspor-impor yang dilakukan membuahkan jalinan sosial antara
Sriwijaya, China, India, Jawa dan negeri lain. Daerah Palembang yang berada
ditengah jalur layar-dagang dimanfaatkan untuk menarik pajak.
Keberadaan
sungai Musi sangat membantu Sriwijaya dalam impor bahan pangan dan rempah dari
pedalaman. Maka dalam hal ini dibangunlah di tepi-tepi sungai tersebut pos-pos
dagang. Dalam hal ini meskipun secara teori pada masa-masa tersebut kegiatan
manusia masih hanya tegantung pada alam, namun Sriwijaya sudah punya ide untuk
memanfaatkan dan membangun alam untuk kepentingan ekonominya. Hal ini
memperlihatkan perkembangan bahwa tidak “melulu” determinisme alam tetapi
manusia mulai berperan dalam mengelola alam sesuai kebutuhan.
Kebesaran
Sriwijaya akhirnya kian runtuh dengan adanya dua sebab, yakni dari dalam dan
dari luar. Kondisi curah hujan yang telalu sering di Sriwijaya membuat tanahnya
tidak subur lagi. Belum lagi pendangkalan pantai dan sungai Musi yang menyebabkan
kemerosotan yang besar. Selain itu adanya serangan dari luar yakni dari Jawa
dan kerajaan Chola. Maka berakhirlah kerajaan Sriwijaya.
B. Saran
Makalah
ini belum sempurna, terutama masalah referansi dan kedalaman analisis terhadap
Sriwijaya yang ditinjau dari kacamata geohistori. Maka ada beberapa saran bagi
siapa yang tertarik dengan kajian semacam ini. Pertama, kelengkapan
referensi tentang Sriwijaya terutama yang membahas tentang hubungan
geografisnya dengan kebudayaan yang berkembang. Kedua, kedalaman
analisis tentang geohistori Sriwijaya dengan teori-teori yang relevan
(determinisme lingkungan, ecological cultural).