Senin, 19 November 2012

Geografi Kerajaan Sriwijaya


Tugas Geografi Sejarah
GEOGRAFI KERAJAAN sriwijaya
OLEH :
AMAN MAKRUF
A1 A2 11 083

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Geografi tanpa sejarah bagaikan jerangkong tanpa gerak, sejarah tanpa geografi bagai kelana tanpa tempat tinggal (East dalam Daldjoeni: 7).
Seperti itulah ungkapan East untuk menggambarkan betapa lingkungan geografis mempunyai peran penting dalam perjalanan sejarah, bukan sekedar “panggung”, setting yang sering kali diabaikan peranannya oleh kebanyakan ahli sejarah dan sejarawan (sebelum tahun 1960an). Namun pada masa setelahnya banyak peneliti yang membuktikan bahwa kondisi lingkungan sangat mempengaruhi berkembang dan runtuhnya suatu peradaban. Sebagai contohnya peradaban Hindu-Budha khususnya kerajaan Sriwijaya yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Sebenarnya kata Sriwijaya bukanlah kata asing bagi kita sebagai bangsa Indonesia. Karena kita pernah memilikinya sebagai sebuah negeri maritim terbesar dizamannya. Dengan armada laut yang kuat Sriwijaya menaklukkan berbagai wilayah stategis seperti Melayu sampai sebagian besar pulau Jawa. Kestrategisan emporium inilah yang menjadikannya negeri yang masyhur di dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga tidaklah mengherankan jika banyak temuan benda purbakala di China, India, Malaysia dan sekitarnya yang diidentifikasi berasal dari kerajaan ini.
Disisi lain, setiap peradaban adalah siklus kata Toynbee. Peradaban tidak sekonyong-konyong ada, tapi terbentuk kemudian berkembang lalu mengalami kemunduran yang bersifat determinan. Oleh karenanya generasi berikutnya terinspirasi untuk mencapai keagungan peradaban masa lalu. begitupun juga dengan Sriwijaya. Negeri ini tumbuh, berkembang dan runtuh dengan berbagai sebab. Salah satu sebab yang akan menjadi topik pembahasan dalam tulisan ini adalah sebab geografis. Yaitu situasi alam atau lingkungan mempengaruhi tumbuh, berkembang dan runtuhnya kerajaan Sriwijaya.





BAB II
PEMBAHASAN


A.    Kondisi Geografis Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya yang pernah menjadi salah satu kerajaan yang berjaya di Nusantara menjadi misteri tersendiri bagi kalangan ahli sejarah. Pasalnya, tidak ada tinggalan bangunan istana kerajaan seperti kerajaan Majapahit. Kalaupun ada hanyalah sedikit, dan juga terkesan tercecer diberbagai tempat. begitupun juga bukti prasasti dan kronik Cina maupun Arab tidak menyimpulkan hal yang sama. Hal ini melahirkan banyak hipotesis.
 Di bawah ini ada beberapa hipotesis para ahli yang mencoba melokalisasikan kerajaan Sriwijaya seperti yang tertera dalam tabel berikut.
Tabel Daftar Tokoh, Tahun, Lokasi  dan Tokoh Pendukung Hipotesis
No
Nama
Tahun
Lokasi 
Keterangan/Pendukung
1.
G. Coedes
1918
Palembang

2.
FDK Bosch
1930
Jawa

3.
R.C. Majumdar
1933
Ligor (Thailand)

4.
H.G Quaritch Wales
1935
Chaiya (Thailand)
Chand Chiraya Rajani (1974)
5.
G. Coedes
1936
Palembang
Nilakanta (1949)
Poerbatjaraka (1952)
Slamet Muljana (1963)
Wolters (1967)
Bronson (1974)
6.
JL Moens
1937
Kedah (Malaysia) à Muara Takus (Pekanbaru-Riau)

7.
R. Soekmono
1958 & 1979
Jambi
Geomorfologi
8.
Boechari
1979
Batang Kuantan (Palembang) à Mukha Upang (Palembang)


Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa ada salah satu hipotesis yang banyak dianut kebanyakan ahli sejarah,yakni hipotesis dari Coedes dan kawan-kawan yang menyatakan bahwa Palembang (Sumatera) merupakan daerah yang tepat bagi pusat kerajaan Sriwijaya berdasarkan prasasti dan berita I-Tsing. Mulyana (2010 dalam blog) menegaskan bahwa pelokasian Sriwijaya di Palembang memiliki bukti-bukti tak terbantah. Uraian I-tsing bahwa Sriwijaya di tenggara Malayu dan di muara sungai besar. Penelitian geomorfologi bahwa Palembang abad ke-7 berlokasi di pantai. Sebagian besar prasasti Sriwijaya ditemukan di Palembang. Dan yang terpenting, prasasti Telaga Batu di Palembang merinci nama jabatan yang hanya mungkin ada di pusat pemerintahan: putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para menteri, sampai pembersih dan pelayan istana. Namun dengan adanya hipotesis lain yang didukung bukti-bukti, maka kemungkinan ibukota Sriwijaya berpindah-pindah. Lalu bagaimanakah kondisi geografis kerajaan Sriwijaya yang terletak di pulau Sumatera tersebut? Untuk lebih jelasnya mari kita cermati peta Asia Tenggara purba di bawah ini.
            P.1 Peta Asia Tenggara : pembagian secara politis (pertengahan abad ke-8)
250px-Srivijaya_Empire_id.svg.png
            (Sumber: google)
Peta di atas menggambarkan wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan pada abad ke-8an. Disana ada China, Chenla, Champa, Sriwijaya, dan tanah bebas. Pada awalnya jangkauan kekuasaan Sriwijaya hanya meliputi Minangkabau dan tanah Batak. Kemudian terjadi perluasan ke luar Sumatera dengan menundukkan Kamboja dan Siam. Bagian besar dari Jawa dan pantai-pantai Kalimantan seperti Banjarmasin juga dikuasai bahkan sampai bagian tertentu dari Filipina.
Mengenai kegiatan masayarakat Sriwijaya Robbequain (dalam Daldjoeni, 1982 : 36-37) menggambarkannya sebagai berikut.
“Latar belakang alam dari kebesaran Sriwijaya ternyata tidak banyak ditemukan pada sumbernya yang berupa hutan-hutan dan tanahnya, akan tetapi lebih pada kegiatan orang-orangnya di lautan. Negara tersebut maju dalam perniagaan laut; juga banyak diperoleh keuntungan dari hasil perompakan atas kapal-kapal pengangkut hasil antar samudra. Dari pantai-pantai Sumatra diawasinya Selat Malaka serta Selat Sunda, dua jalan laut penghubung Samudra Hindia dengan lautan Cina Selatan dan Lautan Nusantara.”

            Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kebesaran Sriwijaya terletak pada kegiatan ekonominya dalam bentuk pelayaran-perdagangan. Serdadunya tidak hanya tentara biasa namun juga armada bajak laut. Akhirnya hegemoni ekonomi laut dapat dipertahankan.
            Peristiwa goegrafi penting berikutnya adalah terbentuknya dataran rendah yang terjadi pada seluruh pantai Timur Sumatera mulai dari Sukadana di Lampung sampai Sungai Asahan di utara. Ini berarti Palembang juga termasuk daerah yang mengalami peristiwa tersebut.
Di zaman tersier kuno, pegunungan Bukit Barisan mengalami proses pelapukan yang hasilnya berupa batuan sabak kuno, batuan granit dan diorite termasuk juga batuan efusif, serta batuan metamorfosa. Karena hasil pelapukan tersebut sangat basa maka bersamaan dengan proses tersebut terbentuklah pasir kuarsa. Selain itu juga terbentuk lempung dengan kadar S02 yang tinggi yang kemudian diendapkan di laut dan sebagian di darat berupa tanah lempung.
Pada jaman tersier muda (miosen) bagian besar pulau Sumatera tenggelam dalam lautan. Adapun bagian-bagian di atas permukaan laut juga mengalami erosi hebat dan sungai-sungai membuang bahan-bahan berkisel ke dalam lautan. Kemudian dizaman berikutnya yakni pliosen mulailah terjadi proses pengangkatan berbagai bagian pulau Sumatera dengan diselingi masa-masa istirahat pendek. Dalam jaman yang penuh dengan kegiatan vulkanisme maka terbentuklah pegunungan Bukit Barisan, khususnya bagian tengah dari deretannya. Dengan kejadian itu semuanya maka diberbagai tempat batu-batuan tua menjadi tertutup oleh yang muda. Tetapi bersamaan dengan itu banyak sungai yang mengerosikan bahan eflata dari gunung-gunung api. Karena batuannya kebanyakan bersifat asam seperti rhiolit, andesit asam, dasit dan liparit, maka hancurannya yang diendapkan selain terdiri dari atas glimmer dan hornblende juga khususnya batu apung, veldspat, alkali dan kwarsa.
Endapan-endapan tersebut pada awalnya hanya terjadi pada lautan yang mendangkal, tetapi kemudian juga menjalar sampai keseluruh lautan yang terletak diantara Sumatera, Malaka dan Kalimantan, dengan demikian lautan Sunda (seperti halnya Jawa) pernah menjadi daratan. Dengan selesainya masa tersebut, kini berlanjut ke masa kwarter yang pada masa ini terbentuk dataran rendah Palembang yang sekarang sering disebut sebagai suatu “talang”. Semakin dataran tersebut terangkat, semakin dalam sungai-sungai mengiris permukaan buminya sehingga dengan cara demikian kemungkinan untuk banjir berkurang. Proses yang terjadi dari jaman ke jaman adalah proses pencucian tanah (soil leaching) oleh curah hujan. Ini berlangsung hingga masa kini dan kesuburan yang terkandung tanah makin habis. Bersamaan dengan itu vegetasipun menjadi berkurang terus-menerus. Namun di kiri kanan sungai Musi misalnya terdapat jalur pinggiran yang disebut “renah” di situ terjadi peremajaan tanah karena air banjir meluapkan pula bahan-bahan kesuburan yang berasal dari gunung-gunung api di pedalaman Sumatera.
Perlu pula ditambahkan bahwa berdasarkan berbagai penyelidikan dimasa terjadi pasang setinggi kurang lebih  40 meteran pada jaman kwarter, dataran-dataran rendah yang menghubungkan daerah pegunungan di Sumatera, Malaka, Bangka Belitung, Kalimantan dan Jawa menjadi tenggelam lagi, sehingga terbentuklah lautan-lautan baru seperti Laut China Selatan, Selat Sunda, Selat Malaka dan Laut Jawa. Sejak jaman itulah di sekitar Palembang dan Jambi karena air sungai-sungainya yang besar menjadi terhambat untuk bermuara, dan terbentuklah rawa-rawa berair tawar. Latar belakang pedologis seperti di atas perlu diketahui untuk memahami pengaruh alam yang tidak langsung terhadap proses muncul dan  tenggelamnya kerajaan Sriwijaya.
Penelaahan tentang Sriwijaya (Sumatera) tidak berhenti sampai disini. Masih ada lagi usaha lain yakni meneliti pertumbuhan garis pantai Sumatera secara Geomorfologis oleh para ahli termasuk Soekmono. Sebenarnya sebelum Soekmono, penelitian ini sudah dilakukan oleh Obdeyn. Obdeyn berkesimpulan bahwa pada masa Sriwijaya dulu, dataran alluvial Sumatera pantai timur seperti yang ada sekarang ini belum ada. Jazirah Malaka waktu itu membujur lebih ke selatan sampai ke Pulau Bangka dan Belitung sedangkan Kepulauan Riau dan Lingga merupakan sambungannya. Adapun Selat Sunda belum atau tidak dikenal orang. Satu-satunya jalan laut yang menghubungkan Samoedera Hindia dengan laut China Selatan adalah Selat malaka dengan belokannya setelah melewati pulau Bangka.
Pada tahun 1954 melakukan penelitian lanjutan yang bekerja sama dengan Angkatan Udara RI dan memberikan kesimpulan bahwa situs arkeologis disekitar Palembang semuanya (seperti bukit Siguntang, Kedukan Bukit, Gadingsuro, Candi Angsoka, Candi Welang dan telagabaru) ada di endapan neogen dan tersier lainnya: artinya tidak ada yang terdapat di tanah aluvial.
Kota Jambi yang sekarang, dimasa dulunya terletak disuatu teluk pada muara sungai Batanghari. Teluk tersebut jorokannya masuk jauh hampir sampai pulau Tambesi.  Adapun di depan teluk tersebut terdapat tiga buah pulau. Setelah pantai Jambi tersebut direkonstruksi, menjadi nyatalah bahwa lokasi penemuan arkeologis (seperti Soloksipin di dekat Jambi, Candi Tinggi, Gumpung dan Astano dekat muara Jambi), semuanya itu ada di formasi tanah dari batuan neogen yang pernah mengalami pengangkatan.
Jika dibandingkan lokasi Jambi dengan Palembang nampaknya bahwa Jambi menempati suatu teluk sedang Palembang menempati ujung jazirah yang pangkalnya ada disekitar Sekayu sekarang. Baik Jambi maupun Palembang sekarang jaraknya dari lautan rata-rata ada sekitar 75 km, karena endapan sungai Musi dan Batanghari telah membentuk dataran pantai yang baru.
Menurut geology Van Blemmen, garis pantai di muara Batanghari majunya setahun rata-rata 75 m sedangkan Sungai Musi 125 m. Perbedaan tersebut karena sungai Musi lebih besar sebagai akibat dari masuknya air Ogan dan Komering. Kesimpulannya adalah bahwa pada awalnya, kerajaan Sriwijaya terletak di pantai, dalam arti bahwa lokasi Jambi di tepi teluk dan Palembang di ujung jazirah.
Sriwijaya muncul dalam sejarah pada bagian kedua abad ke-7 dan runtuh pada akhir abad ke-14. Selama tujuh abad itu pantainya maju ke timur terus-menerus. Bahwa menurut berita Arab dan Cina lokasi Sriwijaya itu di tepi sungai besar, hal itu tentunya berlaku untuk abad ke-10 atau ke-11. Mengenai pendapat Obdeyn bahwa jazirah Malaka memanjang kearah selatan sampai Bangka dan Belitung dan kondisi ini bertahan terus sampai tahun 1400, van Bemmelen dalam buku geologinya menunjukkan bahwa Bangka Belitung beserta kepualuan Singkep mewujudkan suatu deretan pegunungan yang secara berangsur mengalami penenggelaman (Daldjoeni, 1982: 42-44.)
B.     Pengaruh kondisi geografis terhadap pertumbuhan kerajaan Sriwijaya
1.      Sungai Musi
Pada pembahasan ini terdiri dari dua poin inti pembahasan yakni yang pertama mengenai peran sungai Musi terhadap perkembangan kemajuan kerajaan Sriwijaya dan  upaya penjangkauan wilayah strategis-ekonomis dengan cara penaklukan. Penggambaran sungai Musi melalui peta yang relevan tidak ditemukan sehingga pembahasannya menggunakan peta baru yang masih ada sangkut pautnya dengan kegiatan masyarakat dalam membangun pos-pos dagang sepanjang sungai Musi
Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama ; daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok.
Dibagian hulu sungai Musi, Sriwijaya memiliki akses memasuki daerah pedalaman yang menyediakan suplai komoditas lokal yang berlimpah semacam kayu, resin aromatic dan rempah-rempah. Satu-satunya perkecualian dari daftar komoditas itu adalah emas karena, bertentangan dengan Malayu di Batang hari, sungai Musi tidak punya hubungan dengan pusat produksi emas di dataran tinggi Minangkabau. Palembang memiliki akses yang mudah ke laut disebabkan oleh letak geografis situsnya. Wilayah itu sangat rendah dan rata yang memungkinkan kapal-kapal laut bisa menyusuri sungai sampai ibukota tanpa memerlukan bongkar-muat kapal (Munoz, 2009: 159).
Fungsi sungai Musi yang penting tersebut menuntut perbaikan fasilitas. Kemudian dibangunlah pos-pos dagang (gambar p.4). Pos-pos tersebut digunakan untuk menmpung sementara barang dan orang dalam perjalanannya hilir-mudik pedalaman-pusat.
sungaimusi.jpg
Sumber: www.google.com. Diakses terakhir 4 mei 2011

Karena daerah pedalamannya penghasil komoditas penting membuat Sriwijaya menjadi pengendali (pemenang dalam) perdagangan yang masuk dari Jawa maupun yang akan berangkat ke India. Namun, posisi seperti ini masih belum memuaskan Sriwijaya. Akhirnya muncullah ide untuk mengendalikan semua pelabuhan yang berlokasi dikedua sisi selat Malaka dan Sunda. Kendali atas semua pelabuhan ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan sebuah hegemoni maritim atas emporium kompetitor lainnya. Siapapun yang memegang kendali ini bisa mengumpulkan pajak dan upeti dari semua barang yang transit dan menjadi pemain utama dalam perdagangan upeti dengan China.
Pada masa selanjutnya, untuk tetap mempertahankan stabilitas didalam mandala mereka, para raja Sriwijaya berkewajiban untuk bisa berperan sebagai seorang politisi yang cakap. Jarak antara mandala-mandala jauh ini memaksa Raja untuk lebih bersandar pada kesetiaan dibanding dengan paksaan. Kesetiaan ini bersifat temporal sehingga mereka harus ditaklukkan secara militer. Sehingga Krom (dalam Hall: 54-55) mengatakan bahwa untuk mempertahankan posisi hak istimewa, Sriwijaya melibatkan pendidikan angkatan perang secara terus-menerus seperti yang dilakukan Belanda abad ke-17.
2.      Struktur  birokrasi
Struktur birokrasi Sriwijiya ini unik, berbeda dengan kerajaan lain seperti Mataram-agraris. Kalau struktur birokrasi Mataram sudah jelas mengutamakan tata pemerintahan dalam negeri. Sumadyo (2010) menjelaskan bahwa sejumlah prasasti menunjukkan birokrasi yang  memperhatikan sekali pelaksanaan berbagai aturan untuk menjamin ketenangan dalam negeri. Hal seperti ini belum ditemukan di daerah Sriwijaya. Adapun prasasti yang telah ditemukan umumnya berasal dari abad ke-7 atau  ke-8, yaitu masa awal tumbuhnya Sriwijaya sebagai suatu kekuatan. Dari prasasti tersebut menimbulkan kesan bahwa masa itu adalah masa penaklukan. Tentara Sriwijaya bergerak diseluruh negeri dalam suatu usaha pasifikasi.
Hal yang menarik lagi bahwa sebagian dari prasasti itu mengandung ancaman kutukan yang ditujukan pada keluarga raja sendiri. Hal ini terjadi karena keluarga raja tersebut berada diluar pengawasan langsung atau mbalelo. Mereka adalah anak-anak raja yang diberi kuasa didaerah-daerah.  Berdasarkan prasasti kota kapur (Sumadyo, 1993: 71), telaga batu dan tugu-tugu peringatan yang ditemukan di Jambi, Kota Baru dan Lampung menyiratkan bahwa Jaya Nasa bukanlah raja yang lunak dan tidak ragu-ragu menggunkaan tindakan-tindakan keras untuk menakuti para penantangnya. Salah satu contohnya adalah menggunakan mantra dan kutukan magis ajaran tantra yang tertera dalam prasasti Telaga batu yang bertuliskan: “Jika kalian tidak setia padaku, kalian akan terbunuh dengan kutukan ini” (Munoz, 2009:172).
Keadaan tersebut jika benar, menunjukan sikap keras dari raja yang berkuasa. Suatu sikap yang tidak menghendaki kebebasan bertindak yang terlalu besar kepada penguasa daerah. Sikap demikian ini sebenarnya tidak mnegherankan untuk suatu negara yang hidup dari perdagangan.  Pasalnya bahwa penguasa harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan-pelabuhan tempat penimbunan komoditas dagang. Dengan penguasaan dua aspek tersebut, dengan sendirinya memerlukan pengawasan langsung dari penguasa. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau raja Sriwijaya tidak membenarkan sikap tidak setia, meskipun hanya sedikit, termasuk dari anaknya sendiri.
Sebagai sebuah negara maritim-bisnis, Sriwijaya telah mengembangkan suatu tradisi diplomasi yang menyebabkan kerajaan tersebut lebih metropolitan sifatnya. Untuk mempertahankan peranannya sebagai negara bisnis, Sriwijaya lebih memerlukan kekuatan militer yang dapat melakukan gerakan ekspedisioner daripada negara agraris. Kelangsungan negara Sriwijaya lebih tergantung pada pola-pola perdagangan. Hal ini terbukti ketika China mulai ikut berdagang dikawasan selatan peranan Sriwijaya berkurang sebagai pangkalan utama perdagangan antara Asia Tenggara dengan China.
3.      Hubungan dengan luar negeri
Sumatera merupakan pulau besar di Indonesia bagian barat yang terdekat letaknya dengan daratan AsiaTenggara. Diantara Sumatera dan Semenanjung Melayu, suatu jazirah yang merupakan bagian dari daratan Asia Tenggara, hanya terdapat sebuah selat yang tidak begitu lebar yaitu selat Malaka. Kedudukan geografis ini merupakan suatu faktor yang besar pengaruhnya pada sejarah yang dialami oleh pulau ini.
Posisi strategis Sriwijya akan membuatnya menjadi Negara maritim terbesar di Nusantara. Hubungan antara Sriwijaya dengan negri diluar Indonesia bukan hanya dengan China,namun juga dengan India. Sebuah prasasti raja yang bernama prasasti dewa pala dewa dari Bengala  yang dibuat pada akhir abad ke-9 menyebutkan sebuah biara yang dibuat atas perintah Balaputradewa, maharaja dari Suwarna dwipa. Prasasti ini dikenal dengan nama prasasti Nalanda. Prasasti lain yaitu prasasti dari raja-raja 1 di India Selatan menyebutkan marawijayottunggawarman raja dari Kataha dan Sriwisaya telah memberikan hadiah sebuah desa untuk diabdikan kepada sang Budha yang dihormati didalam cuda manifarma vihara, yang telah didirikan  oleh ayahnya dikota Nagipattana (Negapatam sekarang).
Hubungan luar negeri Negara Sriwijaya lebih aktif sifatnya. Sriwijaya ini menaruh minat pada pembangunan agama baik di India maupun China. Sebagai seornag penganut Buddha, sang Maharaja tidak –seperti halnya penguasa Hindu- tergantung pada sebuah Devaraja, yang selalu terikat pada sebuah candi yang jika hilang atau hancur akan mengibatkan kehancuran pula bagi kerajaan. Abad XI, maharaja Sriwijaya memperbaiki sebuah kuil di Kanton. Karya-karya I-Tsing juga menggambarkan betapa masyhurnya Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha. Pertumbuhna pusat itu hanya mungkin jika negeri itu terbuka untuk hubungan dengan luar negeri yang berkembang dalam waktu yang tidak singkat.
4.      Sosial-Budaya dan Agama
Sebagai jalur lalulintas utama Asia Tenggara, tentunya segala budaya dan agama dari manca negara bisa masuk dan berkembang. Agama yang berhasil tumbuh sebagai agama Negara adalah agama Budha. Hampir semua pendeta China yang melakukan perjalanan laut antara China dan India akan singgah di kota Palembang untuk belajar disejumlah biara (Munoz, 2009: 165) salah satunya adalah I-Tsing. Bukti telah berkembangnya agam Budha adalah dibangunnya candi Muara Takus (lihat gambar p.6). Selain Budha ada juga aliran Mahayana, Hinayana, Tantrayana dan Mantrayana.
Gambar p.6 Candi Muara Takus
candi muara takus.jpg
Sumber; www.google.com
5.      Perkembangan perdagangan
Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa menyatakan bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh Sumatra, Jawa Barat, dan beberapa daerah di semenanjung Melayu. Dalam hal ini Sartono (1999: 2) menambahkan Selat Malaka dan Selat Sunda. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.
Letak geografis Sumatera sangat mendukung Sriwijaya untuk ikut serta dalam perdagangan internasional yang mulai berkembang antara India dengan daratan Asia Tenggara sejak awal tarikh Masehi (lihat peta p.5). Berita China mengatakan bahwa ada kesamaan adat di Kan-t’oli dengan di Kamboja dan Campa membuktikan bahwa keadaan diketiga tempat tersebut sama, setidaknya menurut orang-orang China tersebut. Hal ini hanya dapat terjadi jika ada hubungan intensif antara negeri tersebut. Dan ketika hubunagn ini terjalin, akan memberikan pengaruh terhadap Sumatera.
Perdagangan dengan China dan India telah memberikan keuntungan besar bagi Sriwijya. Negeri ini berhasil mengumpulkan kekayaan yang banyak hingga membuatnya termasyhur di seantero negeri. Keadaan seperti ini tentunya mengundang kemungkinan adanag gangguan terhadap stabilitas Negara oleh ulah para bajak laut. Namun, sampai abad X, Sriwijaya dapat mengatasi hal tersebut.
C.    Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya
Tentunya jika membicarakan runtuhnya kerajaan Sriwijaya akan ditemukan berbagai sebab. Menurut Suryanegara dkk. (2010 dalam blog) ada dua sebab yakni serangan dari Jawa dan dari Cola.Namun sebab manakah yang menjdai faktor utama runtuhnya kerajaan tersebut?
a.       Serangan dari Jawa
Dunia perdagangan dan pelayaran internasional kerajaan Sriwijaya yang maju pesat dikarenakan kerajaan ini menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis yang terletak di sepanjang Selat Malaka disertai kekuatan armada laut yang kuat. Sriwijaya menjalankan politik bersahabat dengan negara-negara tetangganya, walaupun seringkali pula terjadi perperangan yang tidak terelakkan. Misalnya hubungan persahabatan antara Sriwijaya dengan penguasa Jawa telah terjalin sejak zaman raja Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Tetapi ada kalanya terjadi pertentangan di antara kedua negara tersebut.
Peristiwa pertikaian tersebut diberitakan oleh utusan dari Jawa yang sedang berada di negeri Cina yang mengatakan bahwa negerinya sedang berperang dengan kerajaan Sriwijaya, sedangkan pada saat yang sama (988 M), utusan dari Sriwijaya yang tengah berada di Kanton (Cina) tetap bertahan di kota ini, karena mendengar berita bahwa penguasa Jawa (raja Dharmawangsa) dengan Sriwijaya tengah berperang. Penyebab peperangan tersebut karena memperebutkan kawasan lalu-lintas perdagangan di sekitar Selat Malaka yang memang strategis.
Pada waktu wilayah kekuasan Sriwijaya mendapat serangan dari penguasa Jawa, Sriwijaya pernah meminta bantuan pasukan dari kerajaan Chola (Colomandala) di India. Sriwijaya dapat memulihkan kewibawaannya setelah mendapat serangan dari Jawa tersebut serta dapat mengembalikan wilayah kekuasaannya di kawasan Semenanjung Melayu.
b.      Serangan Kerajaan Chola
Pada saat pertikaian antara Sriwijaya dengan Jawa, hubungan antara Sriwijaya dengan kerajaan Chola masih baik. Buktinya, sekitar tahun 1005 M, raja Sriwijaya membangun candi Budha di Nagipattana atau Nagapatam di wilayah kekuasaan kerajaan Chola. Hubungan baik yang dibina raja Sriwijaya, Sri Chulamaniwarmadewa, dengan penguasa Chola tidak berlangsung lama. Karena politik Chola terhadap perluasan kekuatan di lautan seperti yang dilakukan kerajaan - kerajaan kuno sebelumnya yang mengulangi cara-cara yang dipakai untuk mempertahankan monopoli perdagangan mereka.
Tahun 1007 M, kerajaan Chola mulai menyerang ke arah timur. Raja Chola mengklaim bahwa mereka telah menaklukan 12.000 pulau. Ketika raja Chola mangkat pada tahun 1014, sang putra kerajaan Rajendra untuk beberapa tahun tetap bersahabat dengan Sriwijaya dan bahkan memperkuat hadiah yang diberikan ayahnya pada Vihara Negapatam yang dibangun oleh Sriwijaya.
Dalam serangan Chola tahun 1024, lebih ditujukan kepada daerah Semenanjung Malaka. Tetapi serangan Chola itu tidak sampai menghancurkan sama sekali kejayaan Sriwijaya, karena pasukan Sriwijaya mempunyai daerah pertahanan yang terdiri dari banyaknya anak-anak sungai, kawasan berawa-rawa, dan pulau-pulau di wilayahnya.
Tahun 1025 M, pasukan Chola kembali mengadakan serangan besar yang melemahkan kedudukan Sriwijaya. Sebagian besar tempat-tempat ini terletak di Sumatra atau Semenanjung Melayu, tetapi beberapa nama-nama itu belum dapat diidentifikasikan. Tempat yang dapat diidentifikasi dengan pasti adalah Palembang, Melayu (Jambi), dan Pane (pantai timur Sumatra), Langkasuka (Ligor), Takola dan Kedah di daratan Melayu; Tumasik, (sekarang Singapura), Aceh di ujung utara Sumatra, dan kepulauan Nikobar. Namun, serangan dahsyat tersebut, tetap tidak meruntuhkan Sriwijaya, hanya memperkecil daerah kekuasaannya.
Setelah serangan Chola, Sriwijaya kembali dapat membangun menjadi negeri yang besar. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi berupa sisa-sisa bangunan suci; sebuah stupa dan beberapa makara. Salah satu dari makara tersebut berangka tahun 1064 M. Bukti lain berupa kronik Sung-shih tetap mencatat adanya utusan-utusan dari Sriwijaya ke negeri Cina pada tahun 1028 M, 1067 M, dan 1080 M.
Jadi, serangan Chola yang dahsyat itu tidak membuat kerajaan Sriwijaya lemah. Namun akibat serangan Chola itu cukup fatal terhadap kekuasaan kerajaan Sriwijaya; kekuatan kerajaan maritim ini mulai menurun dan dominasi kerajaan Sriwijaya atas lalu-lintas perdagangan di selat Malaka lambat laun makin pudar. Sriwijaya sudah tidak mampu lagi mengawasi negeri-negeri bawahannya. Dalam situasi demikian, negeri Melayu yang terletak di Jambi, yang sejak abad ke-7 Masehi menjadi bawahan kerajaan Sriwijaya, menggunakan kesempatan untuk melepaskan dirinya dari kekuasaan Sriwijaya.
Lemahnya kedudukan Sriwijaya setelah serangan Chola tersebut, juga memungkinkan penguasa Airlangga di Jawa Timur (1019 M-1042 M) untuk merebut kembali daerah yang hilang (1006 M) pada era kekuasaan ayahnya, raja Dharmawangsa. Kebijakan politik Airlangga adalah kerjasama dengan penguasa Sriwijaya dalam menghadapi ancaman dan membendung serangan Chola. Penguasa Sriwijaya dan penguasa Airlangga tersebut sepakat mengadakan perdamaian. Tahun 1030 Airlangga kawin dengan puteri Sanggrama Vijayottunggawarman dari Sriwijaya.
Dari tahun 1030 M sampai 1064 M tak ada yang diketahui tentang sejarah Sriwijaya. Tahun 1064, sebuah prasasti berbentuk patung makara, ditemukan di Solok, Sumatra Barat yang berbatasan dengan Jambi, menyebut seorang Dharmavira, tetapi tidak ada yang diketahui tentangnya. Patung itu mengandung bukti-bukti seni Jawa. Rupanya setelah itu upaya Sriwijaya menegakkan kembali kekuasaannya atas Sumatra, tetapi tidak pernah mencapai kekuasaannya yang seperti era sebelumya. Yang jelas, penguasa Sriwijaya dengan Airlangga mencapai suatu kesepakatan untuk membiarkan wilayah kekuasaan Airlangga di bagian barat Nusantara dan Jawa ke timur.
c.       Pendangkalan sungai Musi dan menjauhnya garis pantai
Sebab yang satu inilah yang menjadi faktor utama runtuhnya Sriwijaya. Penjelasannya seperti yang dipaparkan Daljoeni berikut ini. Daerah Sumatera ini merupakan daerah yang curah hujannya melebihi penguapannya. Hal ini mengakibatkan derasnya hujan membuat air meresap terlalu dalam hingga tidak dapat dijangkau oleh akar tumbuhan sekaligus melarutkan bahan-bahan kesuburan tanah.  Akibatnya tanahnya tandus, yang kemudian oleh Soebantardjo disebut pemiskinan tanah secara kimiawi. Selain itu, sebagain air hujan yang tidak ikut meresap ke dalam tanah tetapi mengalir di atsas permukaan tanah yang kemudian masuk ke sungai-sungai. Topsoil berisi humus menjadi hanyut sehingga daerah tersebut tidak subur. Nah, yang kedua ini disebut pencucian tanah secara fisis dan menurut Soebantardjo pencucian inilah yang terjadi pada wilayah pusat kerajaan Sriwijaya.
Peristiwa alam ini seolah menjadi vonis bahwa Sriwijaya tidak bisa berkutik lagi. Pasalnya Sriwijaya juga bukan Negara agraris yang memiliki pasokan makanan sendiri. Seperti kita ketahui bahwa untuk memenuhi kebutuhan beras, kerajaan ini mengimpor dari pedalaman dan Jawa. Dengan demikian posisi Sriwijaya semakin tidak menentu. Belum lagi Sriwijaya harus menghadapi serangan dari kerajaan lain.
Ada pula sebab lain yakni masih berkaitan dengan air: terjadinya pendangkalan sungai Musi dan menjauhnya garis pantai yang berakibat tertutupnya akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan. Komoditas berharga dan sumber pangan yang semula datang dnegan mudah menjadi terhambat dan berhenti. Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang di sebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, kerajaan Pasai di bagian utara Sumatra berpindah agama Islam. Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan kesultanan Malaka di semenanjung Malaysia.
Dari sisa Kerajaan Sriwijaya tersebut tinggalah Palembang sebagai satu kekuatan tersendiri yang dikenal sebagai kerajaan Palembang. Menurut catatan Cina raja Palembang yang bernama Ma-na-ha Pau-lin-pang mengirim dutanya menghadap kaisar Cina tahun 1374 dan 1375.Maharaja ini barangkali adalah raja Palembang terakhir, sebelum Palembang dihancurkan oleh Majapahit pada tahun 1377.
Berkemungkinan Parameswara dengan para pengikutnya hijrah ke semenanjung, dimana ia singgah lebih dulu ke pulau Temasik dan mendirikan kerajaan Singapura. Pulau ini ditinggalkannya setelah dia berperang melawan orang-orang Siam. Dari Singapura dia hijrah ke Semenanjung dan mendirikan kerajaan Melaka. Setelah membina kerajaan ini dengan gaya dan cara Sriwijaya, maka Melaka menjadi kerajaan terbesar di nusantara setelah kebesaran Sriwijaya.Palembang sendiri setelah ditinggalkan Parameswara menjadi chaos. Majapahit tidak dapat menempatkan adipati di Palembang, karena ditolak oleh orang-orang Cina yang telah menguasai Palembang. Mereka menyebut Palembang sebagai Ku-Kang dan mereka terdiri dari kelompok-kelompok cina yang terusir dari Cina Selatan, yaitu dari wilayah Nan-hai, Chang-chou dan Changuan-chou.







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pelokasian Sriwijaya di Palembang memiliki bukti-bukti tak terbantah. Uraian I-tsing bahwa Sriwijaya di tenggara Malayu dan di muara sungai besar. Penelitian geomorfologi bahwa Palembang abad ke-7 berlokasi di pantai. Sebagian besar prasasti Sriwijaya ditemukan di Palembang. Dan yang terpenting, prasasti Telaga Batu di Palembang merinci nama jabatan yang hanya mungkin ada di pusat pemerintahan: putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para menteri, sampai pembersih dan pelayan istana.
Penguasaan yang kuat atas Asia Tenggara membuat Sriwijaya menjadi negeri maritim-bisnis yang kokoh. Untuk mempertahankan hegemoni tersebut digunakanlah praktik militer darat dan laut (bajak laut). Banyak negeri-negeri yang ditaklukan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Namun Sriwijaya juga menjalin diplomasi yang baik dengan China.
Hubungan baik antara China dan India menjadikan Sriwijaya sebagai meltingpot budaya termasuk agama. Sebagaimana yang diberitakan I-Tsing bahwa di Sriwijaya telah berkembang ajaran Budha dan berbagai alirannya. Pembangunan candi dilakukan di Muara takus sekaligus sebagai legitimasi Sriwijaya atas tanah tersebut.
Wilayah pelayaran-perdagangan yang dibangun dengan baik memberi keuntungan yang besar bagi Sriwijaya. Ekspor-impor yang dilakukan membuahkan jalinan sosial antara Sriwijaya, China, India, Jawa dan negeri lain. Daerah Palembang yang berada ditengah jalur layar-dagang dimanfaatkan untuk menarik pajak.
Keberadaan sungai Musi sangat membantu Sriwijaya dalam impor bahan pangan dan rempah dari pedalaman. Maka dalam hal ini dibangunlah di tepi-tepi sungai tersebut pos-pos dagang. Dalam hal ini meskipun secara teori pada masa-masa tersebut kegiatan manusia masih hanya tegantung pada alam, namun Sriwijaya sudah punya ide untuk memanfaatkan dan membangun alam untuk kepentingan ekonominya. Hal ini memperlihatkan perkembangan bahwa tidak “melulu” determinisme alam tetapi manusia mulai berperan dalam mengelola alam sesuai kebutuhan.
Kebesaran Sriwijaya akhirnya kian runtuh dengan adanya dua sebab, yakni dari dalam dan dari luar. Kondisi curah hujan yang telalu sering di Sriwijaya membuat tanahnya tidak subur lagi. Belum lagi pendangkalan pantai dan sungai Musi yang menyebabkan kemerosotan yang besar. Selain itu adanya serangan dari luar yakni dari Jawa dan kerajaan Chola. Maka berakhirlah kerajaan Sriwijaya.
B.     Saran
Makalah ini belum sempurna, terutama masalah referansi dan kedalaman analisis terhadap Sriwijaya yang ditinjau dari kacamata geohistori. Maka ada beberapa saran bagi siapa yang tertarik dengan kajian semacam ini. Pertama, kelengkapan referensi tentang Sriwijaya terutama yang membahas tentang hubungan geografisnya dengan kebudayaan yang berkembang. Kedua, kedalaman analisis tentang geohistori Sriwijaya dengan teori-teori yang relevan (determinisme lingkungan, ecological cultural).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar