Selasa, 05 Maret 2013

Agresi Meliter I



BAB II
PEMBAHASAN

AGRESI MILITER I
Agresi militer Belanda I terjadi karena adanya perbedaan penafsiran dari perjanjian Linggarjati antara Indonesia dengan Belanda.  Pihak Indonesia mengakui kedaulatan Belanda pada masa peralihan tetapi menolak pelaksanaan keamanan dan ketertiban yang dilakukan bersama pihak Belanda.  Sedangkan pihak Belanda menyatakan bahwa Indonesia akan dijadikan sebagai negara anggota persemakmuran dan berbentuk federasi.  Belanda menuntut agar ketertiban dan keamanan dilakukan bersama pihak Belanda.
Pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda mengirimkan nota ultimatum yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi :
  1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama.
  2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama.
  3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah daerah yang diduduki Belanda.
  4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-daerah Republik Indonesia yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama).
  5. Menyelenggarkan pemilikan bersama atas impor dan ekpor.
Perdana menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama.  Jawaban ini mendapat reaksi keras dari kalangan partai-partai politik di Indonesia.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus mengembalikan ketertiban dengan tindakan keras.  Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan aksi kekerasan mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sangat diperhitungkan oleh Belanda dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis.  Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur.  Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang,  Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan dalam di Jawa.  Di Sumatra perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instansi-instansi minyak dan batubara di sekitar Palembang dan daerah Padang diamankan. 
Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa Sutan Sjahrir mengundurkan diri dari jabantannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah Indonesia dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini bagi pasukan Indonesia hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan.  Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali.  Beberapa orang Belanda termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik Indonesia yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai aksi tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik Indonesia.
Sikap Indonesia tegas.  Nota ultimatum Belanda ditolak Belanda.  Pada tanggal 15 Juli 1947 Belanda memberi nota ultimatum kedua.  Ultimatum kedua harus dijawab dalam waktu 32 hari.  Isi nota tersebut antara lain Belanda tetap menuntut pelaksanaan keamanan dan ketertiban secara bersama dan meminta agar Indonesia menghentikan permusuhan terhadap Belanda.  Sikap Indonesia tetap tegas menolak ultimatum Belanda.
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer 1.  Belanda menyerang pulau Jawa dengan pasukan dan persenjataan yang lengkap.  Untuk menghadap agresi Belanda pihak Indonesia menerapkan taktik perang gerilya.  Belanda berhasil menguasai tempat di kota-kota, sedangkan Indonesia menguasi daerah di luar kota.
Agresi militer Belanda mendapat reaksi keras dari dunia internasional.  India dan Australia di PBB mengusulkan agar masalah Indonesia dari Belanda diselesaikan di Dewan Keamanan PBB.  Pada tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB menyerukan supaya kedua negara yang bertikai menghentikan tembak-menembak.
Dalam persidangan Dewan Keamanan PBB pihak Indonesia mengutus Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salilm.  Pada tanggal 4 Agustus 1947 Indonesia dan Belanda menghentikan baku tembak.  Pada tanggal itu juga agresi militer Belanda terhadap Indonesia berakhir.


KOMISI TIGA NEGARA
Sengketa Indonesia dan Belanda memuncak ketika persetujuan Linggarjati dilanggar oleh Belanda dengan agresi militer tanggal 21 Juli 1947. Hal ini menjadi pokok bahasan di forum internasional. Setelah perdebatan panjang di PBB dan tidak ada keputusan, maka lahirlah beberapa pendapat yang berkembang dari negara-negara besar seperti Rusia dan Amerika Serikat.
Usul Rusia untuk membentuk komisi pengawas gencatan senjata didukung oleh Amerika Serikat, Australia, Brazilia, Columbia, Polandia dan Suriah, tetapi diveto oleh Perancis karena terlalu menguntungkan Republik Indonesia.
Akhirnya usul AS pada tanggal 21 Agustus 1947 melalui Departemen Luar Negeri AS memberitahukan kepada Belanda bahwa AS akan mengusulkan kepada Dewan Keamanan PBB agar menawarkan jasa-jasa baiknya kepada pihak yang bersengketa. Usul tersebut diterima oleh DK-PBB tanggal 25 Agustus 1947 yang selanjutnya menjadi keputusan PBB untuk membentuk suatu Committee of Good Offices (Komisi Jasa-jasa Baik) yang kemudian dikenal sebagai KTN (Komisi Tiga Negara). Komisi ini terdiri dari tiga negara sebagai penyelenggara penyelesaian sengketa, yaitu Belgia yang dipilih oleh Belanda, Australia yang dipilih oleh Indonesia dan AS yang dipilih oleh Belgia dan Australia.
Menghadapi sengketa Indonesia-Belanda yang semakin memuncak, maka Komisi Tiga Negara mengambil beberapa langkah penyelesaian dengan mengusulkan kepada forum PBB melalui DK PBB untuk membahas dan mengambil tindakan yang dianggap perlu atas segaka kejadian di Indonesia. Namun demikian, usaha KTN melalui PBB menemui banyak perbedaan persepsi tentang keadaan yang terjadi di Indonesia, sehingga usul tersebut tidak mendapat tanggapan. Berkali-kali KTN mengirimkan laporan ke DK PBB tetapi tidak pernah mendapat jawaban.
KTN berusaha mempertemukan kedua pihak yang bersengketa ke meja perundingan. Akhirnya pada tanggal 8 Desember 1947 diadakan perundingan di atas kapal AS, Renville yang berlabuh di Tanjung Priok. Namun demikian, perundingan Renville ini mengalami jalan buntu dalam mencapai suatu persetujuan. KTN dalam pesan Natalnya tertanggal 26 Desember, mengajukan usul yang sangat dekat dengan keinginan Belanda. Usul tersebut diterima oleh pihak RI, sedangkan Belanda dalam jawabannya tertanggal 2 Januari 1948 hanya menerima sebagian usul KTN tersebut dan mangajukan usul 12 pasal.
Menanggapi 12 pasal usulan Belanda, KTN kembali mengambil langkah yaitu memasukkan usul 6 pasal tambahan, karena KTN memahami bahwa Indonesia tak mungkin menerima`12 pasal dari Belanda.
KTN berusaha meyakinkan Indonesia tentang usul KTN tersebut sambul memberikan peringatan tentang kemungkinan nagatif yang dapat terjadi apabila Indonesia menolak usulan tersebut. Wakil KTN, Graham meyakinkan Indonesia bahwa hanya dengan menerima tiga naskah persetujuan Renville itu, pemerintah Amerika Serikat akan melindungi RI dari setiap tindakan kekuasaan Belanda. Harus diakui bahwa KTN bekerja amat keras untuk menolong RI. Paling kurang dua dari tiga anggotanya adalah simpatisan Republik, sekalipun kekuatan mereka tidak begitu besar.
Perundingan-perundingan lanjutan, kemudian dilaksanakan, seperti pada perundingan di bulan Maret 1948, akan tetapi mengalami jalan buntu karena kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah.
KTN tak henti-hentinya mencari jalan penyelesaian dengan Indonesia di Kaliurang, Belanda tiba-tiba melancarkan agresinya yang kedua. Sehingga PBB merasa amat tersinggung karena penyerangan itu dilakukan di depan hidung mereka (KTN), yang menyebabkan PBB mengeluarkan beberapa resolusi yang mengecam Belanda.
Setelah peristiwa Agresi Belanda II, forum PBB mulai gencar memperhatikan permasalahan yang ditangani KTN. Muncullah resolusi yang mengecam tindakan Belanda. Selama terbentuknya KTN hingga berakhirnya sengketa pada tanggal 27 Desember 1949, selama kurang lebih tiga setengah tahun, Dewan Keamanan telah mengadakan sidang mengenai sengketa itu lebih dari 90 kali.
Pada tanggal 28 Januari 1949, PBB mengeluarkan suatu resolusi yang menyerukan kepada kedua pihak untuk menghentikan tembak-menembak dan lain-lain yang berhubungan dengan sengketa tersebut. Akhirnya resolusi itu menetapkan perubahan KTN menjadi Komisi PBB untuk Indonesia, yaitu UNCI (United Nations Commission for Indonesia).
Tugas UNCI antara lain melaksanakan resolusi-resolusi DK-PBB, membuat saran-saran mengenai pemilihan umum, pengawasannya dan menjamin pemilihan umum secepat mungkin. Dengan adanya resolusi tanggal 28 Januari 1949 itu telah mengubah nama KTN menjadi UNCI, yang pada dasarnya merupakan kalanjutan dari perjuangan dan perpanjangan tangan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
PERJANJIAN DI KAPAL RENVILLE
            Perjanjian Renville merupakan perjanjian yang terjadi guna untuk menghentikan Agresi Militer Belanda I. Perjanjian ini terjadi di sebuah kapal Amerika yang bernama Renville yang perundingannya dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948. Perjanjian ini juga terjadi atas desakan dari dewan keamanan PBB yang mendesak agar dihentikannya konflik tembak menembak antara Indonesia dan Belanda. Untuk hal ini kemudian Dewan keamanan PBB membentuk komisi yang dinamakan Komisi Tiga Negara. (KTN) sejak agustus 1947. Komisi ini bertugas untuk mencari dan meminta pendapat dari Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan sengketanya. (Soetanto, 2006:101)
            Indonesia dan Belanda dipersilahkan memilih setiap perwakilan untuk KTN ini. Pemerintah Indonesia meminta Indonesia Australia menjadi anggota komisi, sementara Belanda meminta Belgia, dan kedua negara KTN ini meminta Amerika Serikat. Australia sendiri diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zeenland dan Amerika Serikat oleh Dr. Frank Graham. (Poesponegoro, 2008:220)
            Perjanjian Renville ini terjadi di atas kapal Amerika yang berlabuh di Teluk Jakarta. Tempat ini dipilih oleh Indonesia dan Belanda karena dianggap sebagai tempat yang netral.
Delegasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasala dari bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia mudah dikuasainya. Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville. Pokok-poko isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut :
1.      Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia samapi kedaulatan Indonesia diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk.
2.      Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-Belanda.
3.      Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS
4.      Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagain kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara.
5.      Pasukan republic Indonesia yang berda di derah kantong haruns ditarik ke daerah Republik Indonesia. Daerah kantong adalah daerah yang berada di belakang Garis Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua derah terdepan yang diduduki Belanda.
Perjanjian Renville ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. adapun kerugian yang diderita Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville adalah sebagai berikut :
1.      Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalaui masa peralihan.
2.      Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaannya karena grais Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda.
3.      Pihak republik Indonesia harus menarik seluruh pasukanya yang berda di derah kekuasaan Belanda dan kantong-kantong gerilya masuk ke daerah republic Indonesia.
Penandatanganan naskah perjanjian Renville menimbulkan akibat buruk bagi pemerinthan republik Indonesia, antra lain sebagai berikut:
1.      Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikururung oleh daerah-daerah kekuasaan belanda.
2.      Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin republic Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya cabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara kepada Belanda.
3.      Perekonomian Indonesia diblokade secara ketata oleh Belanda
4.      Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan.
5.      Dalam usaha memecah belah Negara kesatuan republic Indonesia, Belanda membentuk negara-negara boneka, seperti; negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara jawa Timut. Negara boneka tersebut tergabung dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar