BAB II
PEMBAHASAN
AGRESI MILITER I
Agresi
militer Belanda I terjadi karena adanya perbedaan penafsiran dari perjanjian
Linggarjati antara Indonesia dengan Belanda. Pihak Indonesia mengakui
kedaulatan Belanda pada masa peralihan tetapi menolak pelaksanaan keamanan dan
ketertiban yang dilakukan bersama pihak Belanda. Sedangkan pihak Belanda
menyatakan bahwa Indonesia akan dijadikan sebagai negara anggota persemakmuran
dan berbentuk federasi. Belanda menuntut agar ketertiban dan keamanan
dilakukan bersama pihak Belanda.
Pada
tanggal 27 Mei 1947 Belanda mengirimkan nota ultimatum yang harus dijawab dalam
14 hari, yang berisi :
- Membentuk pemerintahan ad interim bersama.
- Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama.
- Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah daerah yang diduduki Belanda.
- Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-daerah Republik Indonesia yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama).
- Menyelenggarkan pemilikan bersama atas impor dan ekpor.
Perdana
menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama
masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapat
reaksi keras dari kalangan partai-partai politik di Indonesia.
Ketika
jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus mengembalikan
ketertiban dengan tindakan keras. Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam
(tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan aksi kekerasan
mereka yang pertama.
Aksi
Belanda ini sangat diperhitungkan oleh Belanda dimana mereka telah menempatkan
pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari
Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat dan dari Surabaya untuk
menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih
kecil mengamankan wilayah Semarang, Dengan demikian, Belanda menguasai
semua pelabuhan perairan dalam di Jawa. Di Sumatra perkebunan-perkebunan
di sekitar Medan, instansi-instansi minyak dan batubara di sekitar Palembang
dan daerah Padang diamankan.
Melihat
aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung
dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa Sutan Sjahrir
mengundurkan diri dari jabantannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya
dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara
pemerintah Indonesia dengan Belanda.
Menghadapi
aksi Belanda ini bagi pasukan Indonesia hanya bisa bergerak mundur dalam
kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan
bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan
untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda termasuk van
Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik
Indonesia yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi
sekutunya tidak menyukai aksi tersebut serta menggiring Belanda untuk segera
menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik Indonesia.
Sikap
Indonesia tegas. Nota ultimatum Belanda ditolak Belanda. Pada
tanggal 15 Juli 1947 Belanda memberi nota ultimatum kedua. Ultimatum
kedua harus dijawab dalam waktu 32 hari. Isi nota tersebut antara lain
Belanda tetap menuntut pelaksanaan keamanan dan ketertiban secara bersama dan
meminta agar Indonesia menghentikan permusuhan terhadap Belanda. Sikap
Indonesia tetap tegas menolak ultimatum Belanda.
Pada
tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer 1. Belanda
menyerang pulau Jawa dengan pasukan dan persenjataan yang lengkap. Untuk
menghadap agresi Belanda pihak Indonesia menerapkan taktik perang
gerilya. Belanda berhasil menguasai tempat di kota-kota, sedangkan
Indonesia menguasi daerah di luar kota.
Agresi
militer Belanda mendapat reaksi keras dari dunia internasional. India dan
Australia di PBB mengusulkan agar masalah Indonesia dari Belanda diselesaikan
di Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB
menyerukan supaya kedua negara yang bertikai menghentikan tembak-menembak.
Dalam
persidangan Dewan Keamanan PBB pihak Indonesia mengutus Sutan Sjahrir dan Haji
Agus Salilm. Pada tanggal 4 Agustus 1947 Indonesia dan Belanda
menghentikan baku tembak. Pada tanggal itu juga agresi militer Belanda
terhadap Indonesia berakhir.
KOMISI
TIGA NEGARA
Sengketa
Indonesia dan Belanda memuncak ketika persetujuan Linggarjati dilanggar oleh
Belanda dengan agresi militer tanggal 21 Juli 1947. Hal ini menjadi pokok
bahasan di forum internasional. Setelah perdebatan panjang di PBB dan tidak ada
keputusan, maka lahirlah beberapa pendapat yang berkembang dari negara-negara
besar seperti Rusia dan Amerika Serikat.
Usul Rusia
untuk membentuk komisi pengawas gencatan senjata didukung oleh Amerika Serikat,
Australia, Brazilia, Columbia, Polandia dan Suriah, tetapi diveto oleh Perancis
karena terlalu menguntungkan Republik Indonesia.
Akhirnya
usul AS pada tanggal 21 Agustus 1947 melalui Departemen Luar Negeri AS
memberitahukan kepada Belanda bahwa AS akan mengusulkan kepada Dewan Keamanan
PBB agar menawarkan jasa-jasa baiknya kepada pihak yang bersengketa. Usul
tersebut diterima oleh DK-PBB tanggal 25 Agustus 1947 yang selanjutnya menjadi
keputusan PBB untuk membentuk suatu Committee of Good Offices (Komisi
Jasa-jasa Baik) yang kemudian dikenal sebagai KTN (Komisi Tiga Negara). Komisi
ini terdiri dari tiga negara sebagai penyelenggara penyelesaian sengketa, yaitu
Belgia yang dipilih oleh Belanda, Australia yang dipilih oleh Indonesia dan AS
yang dipilih oleh Belgia dan Australia.
Menghadapi
sengketa Indonesia-Belanda yang semakin memuncak, maka Komisi Tiga Negara
mengambil beberapa langkah penyelesaian dengan mengusulkan kepada forum PBB
melalui DK PBB untuk membahas dan mengambil tindakan yang dianggap perlu atas
segaka kejadian di Indonesia. Namun demikian, usaha KTN melalui PBB menemui
banyak perbedaan persepsi tentang keadaan yang terjadi di Indonesia, sehingga
usul tersebut tidak mendapat tanggapan. Berkali-kali KTN mengirimkan laporan ke
DK PBB tetapi tidak pernah mendapat jawaban.
KTN
berusaha mempertemukan kedua pihak yang bersengketa ke meja perundingan.
Akhirnya pada tanggal 8 Desember 1947 diadakan perundingan di atas kapal AS,
Renville yang berlabuh di Tanjung Priok. Namun demikian, perundingan Renville
ini mengalami jalan buntu dalam mencapai suatu persetujuan. KTN dalam pesan
Natalnya tertanggal 26 Desember, mengajukan usul yang sangat dekat dengan
keinginan Belanda. Usul tersebut diterima oleh pihak RI, sedangkan Belanda
dalam jawabannya tertanggal 2 Januari 1948 hanya menerima sebagian usul KTN
tersebut dan mangajukan usul 12 pasal.
Menanggapi
12 pasal usulan Belanda, KTN kembali mengambil langkah yaitu memasukkan usul 6
pasal tambahan, karena KTN memahami bahwa Indonesia tak mungkin menerima`12
pasal dari Belanda.
KTN
berusaha meyakinkan Indonesia tentang usul KTN tersebut sambul memberikan
peringatan tentang kemungkinan nagatif yang dapat terjadi apabila Indonesia
menolak usulan tersebut. Wakil KTN, Graham meyakinkan Indonesia bahwa hanya
dengan menerima tiga naskah persetujuan Renville itu, pemerintah Amerika
Serikat akan melindungi RI dari setiap tindakan kekuasaan Belanda. Harus diakui
bahwa KTN bekerja amat keras untuk menolong RI. Paling kurang dua dari tiga
anggotanya adalah simpatisan Republik, sekalipun kekuatan mereka tidak begitu
besar.
Perundingan-perundingan
lanjutan, kemudian dilaksanakan, seperti pada perundingan di bulan Maret 1948,
akan tetapi mengalami jalan buntu karena kedua belah pihak tidak ada yang mau
mengalah.
KTN tak
henti-hentinya mencari jalan penyelesaian dengan Indonesia di Kaliurang,
Belanda tiba-tiba melancarkan agresinya yang kedua. Sehingga PBB merasa amat
tersinggung karena penyerangan itu dilakukan di depan hidung mereka (KTN), yang
menyebabkan PBB mengeluarkan beberapa resolusi yang mengecam Belanda.
Setelah
peristiwa Agresi Belanda II, forum PBB mulai gencar memperhatikan permasalahan
yang ditangani KTN. Muncullah resolusi yang mengecam tindakan Belanda. Selama
terbentuknya KTN hingga berakhirnya sengketa pada tanggal 27 Desember 1949,
selama kurang lebih tiga setengah tahun, Dewan Keamanan telah mengadakan sidang
mengenai sengketa itu lebih dari 90 kali.
Pada
tanggal 28 Januari 1949, PBB mengeluarkan suatu resolusi yang menyerukan kepada
kedua pihak untuk menghentikan tembak-menembak dan lain-lain yang berhubungan
dengan sengketa tersebut. Akhirnya resolusi itu menetapkan perubahan KTN
menjadi Komisi PBB untuk Indonesia, yaitu UNCI (United Nations Commission
for Indonesia).
Tugas UNCI
antara lain melaksanakan resolusi-resolusi DK-PBB, membuat saran-saran mengenai
pemilihan umum, pengawasannya dan menjamin pemilihan umum secepat mungkin.
Dengan adanya resolusi tanggal 28 Januari 1949 itu telah mengubah nama KTN
menjadi UNCI, yang pada dasarnya merupakan kalanjutan dari perjuangan dan
perpanjangan tangan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
PERJANJIAN DI KAPAL
RENVILLE
Perjanjian Renville merupakan perjanjian yang terjadi guna untuk menghentikan
Agresi Militer Belanda I. Perjanjian ini terjadi di sebuah kapal Amerika yang
bernama Renville yang perundingannya dimulai pada tanggal 8 Desember 1947
sampai dengan 17 Januari 1948. Perjanjian ini juga terjadi atas desakan dari
dewan keamanan PBB yang mendesak agar dihentikannya konflik tembak menembak
antara Indonesia dan Belanda. Untuk hal ini kemudian Dewan keamanan PBB
membentuk komisi yang dinamakan Komisi Tiga Negara. (KTN) sejak agustus 1947.
Komisi ini bertugas untuk mencari dan meminta pendapat dari Indonesia dan
Belanda untuk menyelesaikan sengketanya. (Soetanto, 2006:101)
Indonesia dan Belanda dipersilahkan memilih setiap perwakilan untuk KTN ini.
Pemerintah Indonesia meminta Indonesia Australia menjadi anggota komisi,
sementara Belanda meminta Belgia, dan kedua negara KTN ini meminta Amerika
Serikat. Australia sendiri diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van
Zeenland dan Amerika Serikat oleh Dr. Frank Graham. (Poesponegoro, 2008:220)
Perjanjian Renville ini terjadi di atas kapal Amerika yang berlabuh di Teluk
Jakarta. Tempat ini dipilih oleh Indonesia dan Belanda karena dianggap sebagai
tempat yang netral.
Delegasi Indonesia terdiri atas
perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh.
Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari
Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran
Kartanagara dan Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasala
dari bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda tetap
melakukan politik adu domba agar Indonesia mudah dikuasainya. Setelah selesai
perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka
diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville. Pokok-poko
isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut :
1.
Belanda tetap berdaulat atas seluruh
wilayah Indonesia samapi kedaulatan Indonesia diserahkan kepada Republik
Indonesia Serikat yang segera terbentuk.
2.
Republik Indonesia Serikat mempunyai
kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-Belanda.
3.
Republik Indonesia akan menjadi
negara bagian dari RIS
4.
Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat
menyerahkan sebagain kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara.
5.
Pasukan republic Indonesia yang
berda di derah kantong haruns ditarik ke daerah Republik Indonesia. Daerah
kantong adalah daerah yang berada di belakang Garis Van Mook, yakni garis yang
menghubungkan dua derah terdepan yang diduduki Belanda.
Perjanjian Renville ditandatangani
kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. adapun kerugian yang diderita
Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville adalah sebagai berikut :
1.
Indonesia terpaksa menyetujui
dibentuknya negara Indonesia Serikat melalaui masa peralihan.
2.
Indonesia kehilangan sebagaian
daerah kekuasaannya karena grais Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah
kekuasaan Belanda.
3.
Pihak republik Indonesia harus menarik
seluruh pasukanya yang berda di derah kekuasaan Belanda dan kantong-kantong
gerilya masuk ke daerah republic Indonesia.
Penandatanganan naskah perjanjian
Renville menimbulkan akibat buruk bagi pemerinthan republik Indonesia, antra
lain sebagai berikut:
1.
Wilayah Republik Indonesia menjadi
makin sempit dan dikururung oleh daerah-daerah kekuasaan belanda.
2.
Timbulnya reaksi kekerasan
dikalangan para pemimpin republic Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya cabinet
Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara kepada Belanda.
3.
Perekonomian Indonesia diblokade
secara ketata oleh Belanda
4.
Indonesia terpaksa harus menarik
mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah gerilya untuk kemudian
hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan.
5.
Dalam usaha memecah belah Negara
kesatuan republic Indonesia, Belanda membentuk negara-negara boneka, seperti;
negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara jawa
Timut. Negara boneka tersebut tergabung dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar